Dia Hanya Wanita yang Lupa..

Wanita itu dulu sebelum dia menyelesaikan gelar sarjana nya, pinta nya pada Tuhannya “Tuhan, aku mau kerja”.

Wanita itu kemudian, dia dapatkan gelarnya. Bangga keluarganya. Kemudian dia berujar lagi “Tuhan, terserah kerja apa asal jangan nganggur”.

Dia lupa Tuhan Maha Baik, pengabul do’s setiap hamba.

Wanita itu, lalu dia pinta pada Tuhannya “Tuhan, izinkan aku lulus di pekerjaan itu”, dia lupa Tuhan tak pernah ingkar aja atas apa yang dia pinta.

Kini, wanita itu kembali meminta “Tuhan, beri aku pekerjaan yang lebih baik. Keluarkan aku dari sini, terserah bagaimana caraMu”

Kemudian Tuhan beri jalan keluar, tapi dia tertipu daya lidah manusia. Dia tentang jalan Tuhan.

Sekarang dia sepi, tak tau kemana mengadu. Menusuri jalan saja dia tak tau arah. Menghilangkan rasa lapar dan dahaga saja dia buta tempat.

Kemudian dia ingat bahwa dirinya lupa berucap syukur. Tuhan kabulkan do’anya.

Tuhan, maafkan wanita itu. Maafkan kesalahannya yang begitu tergesa-gesa dalam meminta. Dia memang suka kalap mata. Tuhan, jangan lupa peluk dia malam ini. Tempatnya dingin. Sepi tuan, sepi teman, tak sesepi senja, tak pula sesendu malam.

Tuhan, dia hanya lupa. Dulu dia pernah berdoa “ingin bahagia”, kini dia tak bahagia dengan apa yang dia pinta.

Tuhan, dekap dia. Dia takut. Tuhan, Engkau maha Kaya. Beri dia sedikit menurutMu, banyak dalam versinya.

Dunia Baru Menyapa Rindu

Di sini. Bukan kota yang terlalu asing namanya. Tapi cukup asing untuk di diami. Bukan kota yang minoritas islamnya, tapi cukup kental adat dan khas tionghoa.

Di sini. Tempat yang memang tak terlalu jauh dari rumah. Tapi benar benar menyadarkan ku bahwa ukuran jauh sebenarnya bukan lah jarak. Tapi waktu. Rasa sepi dan sunyi. Waktu yang sudah berbeda. Tak lagi dihabiskan bersama yang terkasih dan tersayang. Hangatnya rumah, masakan ibu yang kini hanya bisa di rasa saat tanggal merah yang mencukupkan hari libur.

Di sini. Benar-benar tidak ada siapa-siapa. Hanya orang orang baru, sebatas rekan kerja. Biar tau rasa, bagaimana hawa dan asa yang berbeda.

Pilu. Rindu. Tapi sendu.

Waktu berputar cepat bahkan terlalu cepat.

Baru rasanya kemarin lahir, kecil, main-main, UN SD, UN SMP, UN SMA dan iku beberapa test masuk perguruan tinggi. Sekarang? Umur udah di belas yang terakhir, temen temen udah pada kepala 2 alias 20 tahun.

Yang ga berubah apa? Keluarga masih sama dan sahabat yang masih sama dan beberapa sahabat baru. Sahabat yang seperti keluarga sekarang.

Kehidupan aku? Ya. Sangat drastis. Allah membalikkan semuanya spai aku dan keluarga berada di garis yang aku taktau harus menyebutnya apa. Tapi sudahlah sumua juga milik Nya pasti kembali kepadaNya juga.

Sekarang ada hal yang membuat aku semakin takut. Apa? Kehilangan. Yaa.

Teruntuk yang sudah ku anggap keluarga seperti abang sendiri, bang Afdol Zikri. Subuh itu bagai petir. Subuh itu aku terperanjat kaku. Abah yang selalu abang ceritakan kembali, pulang ke rumahNya. Hari itu, Rini ga bisa berbuat banyak untuk abang. Rini cuma mau datang liat abang, ngehibur abang. Perjalanan jauh itu, ga seberapa bang. Yang penting Rini bisa ada untuk abang. Kalian udah kaya keluarga Rini bang.

Ramadhan kemarin, teruntuk sahabat ku sedari dulu yang sudah seperti keluarga juga untukku, Hesty Junika. Bapak mbak masuk rumah sakit. Mbak tau? Hati ini ikut pedih. Takut? Aku pun begitu. Kalau kamu hancur, aku pun hancur. Tapi, semua pasti berlalu kan? Kita do’akan yang terbaik dan kesehatan untuk Pak Marno ya mbak. You’re not alone. I am with you always and forever.

Teruntuk sahabat sahabat lain, terimakasih telah menginspirasi. Love you all.

Kamu tau? Dia ada di hati kamu. Dia bukan tentang seberapa banyak orang menilai parasmu. Bukan tentang seberapa banyak yang ingin mendekati mu. Bukan tentang siapa kamu dan bagaimana hartamu. Ini tentang seberapa keras kamu berjuang. Tentang seberapa banyak kamu mengajarkan arti kehidupan. Ini tentang rasa yang selalu kamu dan aku sembunyikan karena terlalu kelu untuk di utarakan. Jangan katakan ini sayang atau cinta. Ini lebih dari itu.

Hati mu yang memikat hati ini. Maka akhiri saja dengan memintaku pada sang pencipta lewat orangtua ku.

Kita memang tidak perlu menjelaskan siapa kita dan bagaimana kita. Bahkan seharusnya orang tidak tau bagaimana kita, bukan hak kita dan bukan hak mereka untuk saling tau siapa kita. 

Jadilah jahat tapi kau punya hati yang lembut di dalam, bukan lembut di luar tapi panas di dalam. Serasa air yang ingin di minum tapi api yang tertelan!

Iseng Hari Ini.

  
Abis buka ig Annisa Pohan menantunya Pak SBY mantan presiden Indonesia.

Hmm, jadi mikir ternyata jadi seorang ibu itu harus luar biasa banget ya belajarnya.  Haha jadi bingung entar aku kaya apa ya?

Apa yang bakal aku share ke anak aku ntar? Yang pasti aku gak muluk-muluk banget lah buat pola pikir dia sederhana tapi bisa membuat tindakan luar biasa.

Yang pasti dan yang bener aku bakalan tetap lanjut S2 setelah menikah tapi soalnya abis S1 kaya nya nikah dulu deh hehe Amin (semoga dia cepat datang melamar) wkwk. 

Setelah itu, sukses jadi istri, jadi ibu sambil kuliah lagi dan kalau si izinin sambil kerja yang gak mentelantarkan anak dan suami pastinya intinya tetap ingin bekarya aja.

Karena aku gak mau aja tar punya anak yang di asuh sama orang lain pastinya tar dia malah ikut pola dan habit orang lain. Harus aku dong ibunya.  Gitu haha jauh amat yak pemikirannya.

But it’s real, I must educated my child by my self.

Aku emang pecicilan sekarang tapi tulisan ini suatu saat bakal di baca sama aku lagi tapi dalam versi junior jadi aku pastiin ke dia kalau aku bakal belajar terus menjadi sosok yang baik untuk dia.

Pola asuh dan pola pikir orangtua aku yang menghantarkan aku sampai di sini. Bahkan selamanya.

Aku gak mau jadi wanita yang cantiknya bisa luntur karena make-up.

I prefer to be natural. And look naturally pretty hehe. Anak aku hak butuh itu. Tapi dia butuh edukasi.

I promise, I’ll learn more to be perfect wife and mother soonđź’‹

Dunia Kontemporer Butuh Wanita Cerdas.

Hai wanita-wanita kontemporer luar biasa.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk kita terkhusus untuk ibu saya.

  
Beliau sukses menjadi idola saya. Beliau adalah sosok wanita yang lebih dari keajaiban dalam hidup saya.

Beliau lebih dari sekedar sahabat. Saya sering curhat apa saja dengan beliau. Teman, pendidikan, bahkan cinta. Beliau memahami saya bahkan tanpa saya harus berkata-kata.

Saya ingin menjadi seperti beliau sang inspirator terbaik dalam versi yang lebih baik dari yang terbaik.

  
Syurga adalah balasan yang sangat tepat untuk mu Ma, tiada pilihan lain.
Wanita kontemporer.

Mungkin saat ini, saya, kamu dan kita semua entah berada di posisi yang mana. Entah sedang berusaha apa dan entah ada apa dengan rencana ambisi kita.

Tapi yang pasti kita semua sedang mempersiapkan bekal untuk generasi kita nanti. Saya tau, saya bukan wanita dengan kecantikan luar biasa. Saya hanya wanita sederhana.

  
Tapi saya sadar. Kelak saya akan menjadi istri. Lalu menjadi ibu. Menjadi istri, bersama suami kita belajar cerita rumah tangga. Memahami tiada henti. Berdandan untuk  romantika cinta bersama suami.

Sampai lahir sang buah hati.

Ibu?

Mama?

Bunda?

Siapkah kita menjalani perannya? 

 Mereka butuh wanita cerdas. Ini bukan tentang seberapa tinggi jenjang pendidikan yang kita tempuh. Tapi seberapa jauh kita menyelami ilmu.

Kita adalah madrasah utama untuknya. Yang menceritakan ada apa di dunia dan bagaimana dunia.

Menyaksikan ia tumbuh dalam dekapan kita. Lantas siapkah kita bila tanpa ilmu?

Saya dan kita semua pasti punya cita cita yang sama. Menjadi ibu sempurna melebihi kesempurnaan ibu kita. 

Saya kerap kali berpikir. Apa yang saya dapat dari pengalaman saya, ilmu saya, agama saya, akhlak saya akan ikut merubah pola pikir anak saya.

Terbayangkah saat pertama kali dia bertanya hal-hal yang sederhana tapi menerlukan nalar dan logika yang tak sedehana?

Menjadi ibu adalah relasi sekolah dan menyekolahkan.

Emansipasi wanita sempurna bukan terjun ke dunia politik bebas opini tapi berhasil menjadi wanita cerdas bekal istri dan ibu luar biasa.

Selamat menjadi Kartini di era Globalisasi. 

Kita bukan lagi wanita habis gelap terbitlah terang. Kita telah berhasil keluar dari patriarki ber tipologi lama. Mari menjadi wanita cerdas demi penerus bangsa sepanjang masa. Belajar dari ibu sang inspirator terbaik agar kelak menjadi versi yang lebih baik dari yang terbaik.
Tulisan ini juga saya dedikasikan untuk anak-anak saya kelak. Amin.

21 April 2016.

Waiting for Rini’s Daily ya Om Dahlan

Mau Nyontek Harus Belajar DuluMusim ujian. Waaah, benar-benar mengenang masa-masa perjuangan… Belajar kebut semalam, cari contekan, taruh catatan di bawah bantal, dan lain sebagainya…
*****
Setiap orang punya anugerah dari Tuhan. Ada yang bisa lari kencang, bersepeda sangat cepat, melukis dengan indah, menyanyi menggetarkan jiwa, dan lain sebagainya.
Saya? Ada satu yang saya harus beri ucapan terima kasih khusus: Kemampuan melewati ujian dengan baik. Bukan masalah rajin belajar, bukan hanya masalah menyontek. Entah mengapa, dari kecil memang ujian tidak pernah terlalu membuat saya pusing.
Tentu saja, ujian zaman sekarang tidak sepenuhnya seperti dulu. Trik-trik masa lalu belum tentu bisa menolong menghadapi ujian zaman sekarang.
Tapi, saya yakin, semua orang pernah punya trik menghadapi ujian. Khususnya ketika ’’tidak sempat’’ (atau tidak mau?) belajar. Tidak peduli di negara mana pun Anda sekolah/kuliah, saya yakin kurang lebih sama.
Oke, mungkin ada satu atau dua orang yang saat sekolah benar-benar rajin. Tidak pernah sekali pun menyontek, selalu rajin belajar. Saya juga punya teman seperti itu dulu.
Sekarang jadi apa dia? Entah, hahahaha…
Terus terang, saya tidak termasuk yang itu. Sekolah saya ’’sukses’’ karena 60 persen belajar, 20 persen menyontek, dan 20 persen keberuntungan.
Persentase terbesar, tentu harus belajar. Namanya saja sekolah. Waktu kuliah, saya selalu berusaha tidak bolos. Selalu berusaha bawa buku catatan. Selalu berusaha membaca semua buku teks.
Walau kadang bolos, kadang minta kertas dan pinjem pulpen dari teman, dan kadang lupa bawa buku. Dan kadang ketika seharusnya mencatat, saya malah menulis cerita pendek atau puisi. Wkwkwkwk…
Maklum, masa kuliah saya rada nge-punk. Sering celana pendek atau jins bolong-bolong, rambut diwarna-warni, dan telinga bertindik.
Untung saya punya orang tua yang berani ’’melepas’’ dan jarang melarang, walau mungkin sering deg-degan dan mengelus dada.
Untung pula, saya lumayan pintar (atau hoki?) memilih dosen mata pelajaran yang wajib diikuti.
Ada dosen yang selalu mengizinkan kami membuka buku (open book) saat ujian. Alasannya sangat-sangat logis: Dalam kehidupan nyata, kita boleh membuka buku!
Toh, untuk bisa mencari jawaban, kita harus pernah membaca bukunya, dan tahu persis di bab mana harus mencari jawabannya.
Kalau tidak pernah baca bukunya yang tebal-tebal, waktu ujian tidak akan cukup untuk menemukan jawaban dari semua soal yang disajikan.
Kadang, saya dan teman-teman juga beruntung. Menemukan soal atau jawaban dari ujian yang segera dihadapi. Mungkin urutan soalnya tidak sama, bahkan diacak. Tapi, itu modal yang baik.
Meski demikian, soal apa pun yang kami dapat, tetap harus dibaca dan dipelajari jawabannya. Just in case urutannya diacak lebih ruwet dari perkiraan.
Dan kalau sudah begitu, kami punya kesepakatan serius: Jangan sampai dapat nilai sempurna (100). Cukup maksimal 91 atau 93. Atau bahkan 87 (setara B+) saja cukup. Nanti nilai keseluruhan bisa didongkrak menjadi A dengan mengerjakan extra-credit (tugas tambahan).
Tujuannya bukan hanya supaya tidak mencolok. Tapi juga memberi kesempatan kepada adik-adik kelas, atau teman-teman yang mengambil kelas selanjutnya, untuk mendapatkan peluang yang sama.
Asas tidak serakah. Plus asas keadilan, wkwkwkwkwk…
Pernah, ada anak dari Hongkong, terus mendapatkan nilai 100. Alhasil, sang dosen mengubah total ujian-ujian selanjutnya. Membuat kami semua supersebal karena harus benar-benar belajar beneran…
Pernah juga ada teman yang tidak mau belajar beneran, minta saya menuliskan jawaban multiple choice (A, B, C, atau D) di selembar kertas.
Ternyata, dia malah dapat nilai 57. Usut punya usut, urutan jawaban saya tulis ke kanan, dalam sepuluh baris ke bawah. Saat ujian, dia membaca urutannya ke bawah…
Tuh kan, kalau tidak belajar, menyontek justru bisa menjebak!
*****
Hampir semua mungkin pernah desperate.
Misalnya, saat menghadapi ujian, kepala benar-benar blank tidak bisa menemukan jawaban.
Kalau sudah begitu, jangan terlalu ambil pusing. Mau kita pelototi itu soal ujian sampai tujuh hari tujuh malam, jawaban tidak akan ketemu kalau kita memang tidak bisa. Apalagi kalau cuman punya waktu satu jam. Jadi, ya selesaikan saja apa yang bisa diselesaikan, setelah itu improvisasi.
Kalau soal esai, ya dikarang saja jawabannya selogis kita bisa. Mungkin tidak bisa dapat nilai penuh, tapi yang penting ada poinnya. Ini strategi minimizing the damage.
Kalau multiple choice, saya lihat saja jawaban di sekeliling soal yang buntu itu. Kalau terlalu banyak C, maka tidak mungkin C. Kalau sampai soal itu masih jarang B, mungkin jawabannya B. Ini strategi hukum probabilitas, hahahaha…
Kadang-kadang, kita mungkin merasa tidak percaya diri menghadapi ujian yang jatuh pada keesokan hari. Mau baca catatan dan buku teks sepuluh kali, mungkin tetap tidak percaya diri.
Menghadapi ini, ada yang pernah menganjurkan belajar sistem osmosis. Taruh buku teks atau catatan di bawah bantal saat tidur, kemudian biarkan jawaban ’’meresap’’ ke kepala kita saat tidur.
Efektif atau tidak? Entahlah. Tapi, saya lakukan saja. Toh, tidak ada ruginya. Kalau berhasil, ya bagus. Kalau tidak, ya tidak masalah, kan?
*****
Kadang kita sudah belajar maksimal. Kadang kita sudah berniat mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Dan kadang, kita benar-benar diberi mukjizat oleh Tuhan.
Pernah suatu waktu, saya mengerjakan tugas akhir kelas Business English sampai pagi pukul 04.00. Bukan karena rajin kok. Ini karena salah saya sendiri mencoba mengerjakan tugas 30 halaman dengan sistem kebut semalam.
Tidak lama setelah tugas itu selesai dikerjakan, saya tertidur. Baru bangun pukul 11, padahal tugas sudah harus dikumpulkan pukul 9 pagi. Dan itu adalah hari terakhir semester!
Masih pakai kaus putih polos dan celana boxer, saya lari keluar apartemen. Ada teman sesama anak Indonesia saya minta ngebut mengantarkan saya ke kampus.
Sesampai di kampus, suasana begitu sepi. Pintu gedung tempat kelas saya berada dikunci. Gedung administrasi juga sepi.
Saya coba telepon nomor kampus, ternyata ada pemberitahuan: Karena hujan badai begitu keras tadi pagi, maka kampus hari itu ditutup dengan alasan keselamatan. Segala tugas dan kewajiban bisa disusulkan…
Terima kasih Tuhan….
*****
Saya yakin Anda juga punya cerita seru menghadapi ujian. Bahkan mungkin jauh lebih seru daripada cerita-cerita saya di atas.
Saya mungkin bukan pelajar paling jujur, tapi saya juga yakin banyak yang lebih parah dari saya, hehehe… Dan pelajar yang lebih jujur juga belum tentu lebih baik dari saya, hehehe…
Pembagian 60 persen belajar, 20 persen nyontek, dan 20 persen keberuntungan, menurut saya, termasuk paling balance. Dan paling aplikatif untuk menghadapi kehidupan nyata, yang jauh lebih penting dan menantang dari dunia sekolah/perkuliahan.
Coba pikirkan:
Seratus persen belajar belum tentu sukses.
Seratus persen menyontek tentu bukan hal yang baik.
Dan siapa orang hidup 100 persen mengandalkan keberuntungan? (*)
CATATAN TAMBAHAN PENULIS: Tulisan ini tidak bermaksud mengajari orang untuk menyontek. Kalau Anda menganggap demikian, tolong baca lagi dari atas. Kalau belum paham juga, tolong baca lagi dari atas. Happy Wednesday!

Lapindo? Akhiri Sidoarjo.

Negoisasi Lapindo hanya imingi warga – 30 Januari 2016, 13:58 WIB.Masih ingat banget waktu aku masih SMA terus tiba tiba shock ala anak SMA labil tapi sorry ya aku gak sembarang anak labil haha, iya shock tiba tiba buka artikel terus ngebaca kalau Pt.Lapindo di jual ke Jepang dengan harga murah.

Wee, sebagai anak SMA kelas 1 yang waktu itu bercita-cita pengen kuliah di Teknik Industri UI aku kerasa kegampar dengan berita kaya gitu. Aku yakin Jepang gak mungkin ngebeli itu lumpur kalo gak ada manfaatnya. Sama kaya tambang emas yang di jual di Kalimantan dan Indonesia mengira kalau emas di dalamnya udah abis eh ternyata ada titanium di dalamnya yang harganya 100 kali lebih mahal dari emas. Ngomongin Indonesia emang gak ada abisnya, super duper kaya sih tapi gak ngerti sama pola pikir pejabar negaranya.

Oke aku masuk ke inti pembicaraan aku dan mungkin dengan gaya bahasa yang lebih intelektual dan baku kali ya *ceilah gaya amat gue. Wkwkwk.

Abis nonton Aiman nih di kompas tv makanya dapat flashlight gini buat nulis tema nya “kala lapindo ngebor lagi”.

Ada yang gak asik sih dengan tema gituan. Dulu aku berpikir lebih baik Lapindo di kelola sama SDM Indonesia aja ketimbang mesti di jual ke luar negeri. Ada benarnya sih kaya gitu. Tapi di saat sekarang Lapindo beneran yakin buat ngebor lagi di Indonesia kok ada sesuatu yang nge ganjel yah?

Hmm. Apa sih sebenarnya tujuan Lapindo buat ngebor lagi? Dan lucunya saat di tanya “PT.Lapindo kan udah kehabisan uang terus biaya eksplor nya dari mana?”. Pak Arief Setta Widodo selaku manager PT.Lapindo ngejawab “kata siapa Lapindo gak ada uang?”. Oh my God berarti uang nya ada dong selama ini tapi kemana ya uang nya? Kok udah 10 tahun tapi ganti rugi warga belum tuntas? Masih banyak warga yang justru gak jelas di mana tempat tinggalnya setelah tempat tinggal mereka tenggelam di lautan Lapindo. Mungkin Pak Aburizal Bakrie selaku pemilik PT tau kali ya dan bisa memberi jawaban yang pasti.

Pihak Lapindo pun dengan yakin mengatakan bahwa dalam bulan Maret 2016 akan segera di lakukan eksplorasi padahal secara jelas Ketua SKK Migas mengatakan bahwa pengeksploitasian Lapindo belum mendapatkan izin. Dan yang lebih mencengangkan adalah pihak Lapindo mengatakan bahwa dana sebesar 780 M trlah turun dan dana yang dibutuhkan untuk eksplorasi hanyalah 40 M. Pak Arief juga mengatakan mereka akan tetap mengeksplorasi Lapindo dengan atau tanpa persetujuan warga karena mereka menjamin secara teknis pengeboran kali ini lebih aman dan beliau mengatakan hanya 4 RT saja yang tidak menyetujui dari 12 RT yang ada. Kalau di lihat sepertinya pak Arief pandai bermain kata sehingga secara sekilas serasa 4 RT ini yang mengada-ada. Tapi yang sebenarnya?

Kenapa 4 RT ini tidak setuju? Karena inilah penduduk yang tempat tinggalnya bahkan kurang dari radius aman yakni 100 meter di sekitar pengeboran Lapindo. Mereka merasa was was dan trauma dengan kejadin hampir 10 tahun silam. Bagaimana tidak? Berjalan di tepi jalan yang di seberangnya bak lautan lumpur yang menenggelamkan rumah mereka pasti menyisakan trauma yang mendalam. Bahkan dari pengakuan masyarakat tidak ada sosialisasi dari pihak Lapindo mengenai akan di lakukan pengeboran kembali seperti yang dikatakan oleh pak Arief bahwasannya mereka telah mensosialisasikannya sejak 2012 silam. Tapi saya yakin publik cukup bijak untuk menelaah mana yang benar karena rasanya tidak mungkin warga begitu shock mendengar 2016 akan di lakukan pengeboran kembali jika sudah di sosialisasikan sejak 4 tahun silam. Pihak Lapindo seakan akan menuduh warga tidak mengerti akan teknis baru yang lebih aman, lantas bagaimana dengan pertanyaan warga yang meminta jaminan keselamatan? Wajar bila warga mempertanyakannya karena warga mengaku tidak ada jaminan keselamatan yang dijanjikan Lapindo, bahkan pak Arief saat di tanya menggenai hal ini justru menjawab dengan tertawa “ya ini aja belum di bor masa pertanyaan nya udah kalau terjadi seperti kemarin lagi? Ya kita ada asuransi lah”. Kenapa gak dijelasin pak ke warga kalau ada asuransi? Dan asuransi yang seperti apa pak? Yakin mengasuransi kan setiap jiwa? Kalau gak bisa di kasi pertanyaan kaya gitu yaa wajar dong di protes warga. Dan sangat wajar warga trauma. Jadi teringat cerita om supir travel kemarin waktu pulang. Om itu cerita ada ibu ibu dari Jakarta belanja di Pasar kaget Pekanbaru sekitar daerah Rumbai. Nah angkot di sini biasa menyingkat nama sebuah daerah di Rumbai dengan singkatan BOM. Jadi kenek angkot nya teriak “bom bom” maksudnya yang mau ke daerah bom silahkan naik. Eh ibu ini justru lari ketakutan minta perlindungan. Semua orang bingung dengan ulah ibu ini. Ibu itu pun bingung karena kok gak ada yang lari pafahal ada bom. Setelah di tanya ternyata ibu itu tinggal di daerah dekat hotel warriot yang pernah di bom di Jakarta dan rasa trauma nya gak pernah hilang. Om travel itu ngomong “itu lah yang kurang di perhatikan pemerintah. Trauma seharusnya juga butuh penanganan karena kalau udah mental yang kena itu lebih susah”.

Bener banget. Sama hal nya kaya warga di sekitar lumpur lapindo.

Tapi warga bisa berbuat apa sekarang? Hanya menunggu keputusan yang siap mengakhiri takdir mereka dengan cara yang sama.